Televisi Dan Edukasi

Televisi Dan Edukasi

Televisi Dan Edukasi

Televisi adalah salah satu jenis media massa yang mampu menjangkau hampir seluruh penduduk Indonesia. Kalau media cetak hanya dinikmati kurang dari 15 persen penduduk, radio kurang dari 30 persen, televisi angkanya mencapai 90 persen. Namun pada kenyataannya, presentase tertinggi bukanlah suatu jaminan kualitas media. Lihat saja perkembangan televisi saat ini, semua saluran berisi hiburan yang hanya mengutamakan kesenangan tanpa menyelipkan sedikit saja nilai edukasi.

Sebagaimana dikeluhkan banyak orang saat ini, semakin banyak acara televisi yang isinya hanya ngomong kosong yang sekadar bertujuan untuk membuat orang tertawa saja. Sesungguhnya ini sama dengan acara yang dulu juga banyak dikeluhkan oleh masyarakat: gambar setan-setanan, rekayasa berita kriminal, gosip artis tak berujung pangkal, hingga sinetron yang episodenya mencapai ratusan.

Hal ini bukannya diperbaiki tapi malah dimanfaatkan oleh para pemilik televisi. Mereka lebih mengutamakan rating dibanding kualitas acara yang disajikan. Publik pun sudah sangat melek media, dapat membedakan acara mana yang patut di tonton dan mana yang seharusnya di skip saja. Sangking banyaknya acara komedi yang isinya hanya “berjoget-joget” saja, masyarakat mulai resah terutama para orang tua yang mulai mengalami kesulitan untuk mengontrol sang anak yang katanya akhir-akhir ini sulit untuk disuruh belajar. Pertanyaan besarnya adalah dimana nilai edukasi dari ratusan acara televisi yang ada di negri kita ini ? Siapakah yang mampu menjawab ? Siapakah yang mempunyai wewenang untuk memperbaiki ? Pemilik televisi tidak begitu menganggap hal ini sebagai sesuatu yang harus diperbaiki, melainkan mereka berpendapat bahwa masyarakat butuh hiburan sehingga si pemilik televisi berambisi untuk menciptakan acara komedi yang sifatnya menghibur tetapi sama sekali tidak mengandung nilai edukasi dan bahkan tidak ada hal positif yang didapat oleh pemirsa setelah menonton acara tersebut. Mereka hanya mendapatkan kesenangan, mereka hanya mendapatkan hiburan tanpa pendidikan.

Apabila media elektronik di Indonesia masih seperti ini di kemudian hari, dipastikan negara ini akan sulit untuk bersaing dengan negara berkembang lainnya dalam hal kualitas SDM nya. Kita membutuhkan kualitas SDM yang tinggi untuk tetap eksis diantara negara-negara yang lain. Bersaing saja tidak mampu, bagaimana dengan impian untuk menjadi negara maju ? Negara maju tentu saja membutuhkan SDM yang benar-benar berkualitas sehingga dapat mengembangkan perekonomian negara dan tentunya mampu bersaing di kelas dunia.

Semakin bobroknya acara televisi dipertegas dengan adanya keegoisan si pemilik televisi yang menggunakan media miliknya untuk kampanye politik. Mungkin mereka memiliki pemikiran bahwa berkampanye melalui media elektronik akan banyak membantu mencapai apresiasi tertinggi dari masyarakat. Namun, pada kenyataannya masyarakat yang hidup di jaman modern seperti saat ini tentu saja tidak mudah terpengaruh dengan berbagai hadiah yang ditawarkan dalam kampanye politik tersebut. Mereka menonton acara tersebut bukan berarti mereka mendukung serta bersimpati dengan si tokoh politik itu. Banyak masayarakat yang menganggap kampanye tersebut sebagai iklan yang numpang lewat saja. Sia-sia saja para pemilik televisi menggunakan media miliknya untuk berkampanye, masyarakat tentu saja sudah mempunyai pilihan sendiri dan masyarakat pun dapat membedakan mana yang “sogokan” dan mana yang real kampanye politik.

Banyak media yang tidak berani memberitakan tentang kasus si pemilik media tersebut, mereka hanya menyajikan berita yang sifatnya positif sehingga masyarakat dapat berpersepsi bahwa si pemilik media serta tokoh politik tersebut adalah sosok malaikat tanpa cacat. Membodohi masyarakat bukanlah hal yang mudah seperti apa yang dipikirkan oleh para pemilik televisi. Masyarakat tidak bodoh dan tentunya mereka membutuhkan televisi untuk menambah pengetahuan serta untuk tetap bertahan mengikuti arus kemajuan teknologi informasi bukan hanya untuk sekedar tertawa. Para pemilik televisi seharusnya sadar akan hal itu dan mulai membenahi media yang ia naungi.

Masyarakat memang butuh hiburan, tapi hiburan tanpa nilai edukasi tentu saja percuma. Pendidikan politik juga sangat masyarakat butuhkan, tetapi bukan berarti si pemilik televisi yang mencalonkan diri sebagai caleg dapat dengan mudah memanfaatkan keadaan ini. Perpolitikan dan kasus-kasus yang menyangkut kenegaraan segarusnya dikemas sesuai porsinya tanpa harus menambahkan berbagai kampanye yang tujuannya untuk mencapai keuntungan pribadi si pemilik televisi. Sampai saat ini masih banyak televisi yang digunakan untuk berkampanye para tokoh politik.  Siklus tersebut akan berakhir sampai presiden dan wakil presiden baru dilantik pada Oktober 2014 nanti.

Wajar saja apabila mereka berkampanye, namun kewajaran tersebut akan berubah menajdi ketidakwajaran apabila mereka menggunakan media melebihi porsi normal yang telah ditentukan. Sulit memang menghentikan hal-hal politik yang sudah menggandeng keeksisan media. Hal yang perlu kita lakukan saat ini sebenarnya sederhana saja: menjaga kesadaran diri sendiri agar tidak ikut gila seperti para tokoh politik yang hanya numpang eksis di media elektronik.

Halo, saya Yesica Ayu Maharani. Istri dari suami yang sangat baik. I am thankful to you for standing by my side during my good and bad times.

5 komentar

  1. bener banget mbak masyarakat memang membutuhkan hiburan tapi hiburan televisi sekarang seolah-olah tak mau atau emang ga mau melihat efek nya terhadap anak kecil exs : goyang Daesar atau biasa kita sebut YSK

    BalasHapus
  2. makasih sis, salam kenal.. and happy blogging

    BalasHapus
  3. makasih sis, salam kenal.. and happy blogging

    BalasHapus